Tulisan ini dibuat sebagai tugas untuk mata kuliah Apresiasi Arsitektur. Pada versi yang dimuat di blog ini telah dilakukan penyesuaian secukupnya, baik berupa perubahan redaksional maupun penambahan gambar. Esensi tulisan masih tetap sama.
Apresiasi
berarti penghargaan. Mengapresiasi arsitektur sedemikian rupa berarti memberi
penghargaan terhadap karya arsitektur. Pada dasarnya, ia adalah sebuah proses
menikmati, mengalami, dan mengamati sebuah karya arsitektur untuk kemudian
menilai serta memaknainya. Proses tersebut melibatkan segenap indera manusia
sebagai perangkatnya. Sebab, melalui inderalah manusia mengalami sekaligus
menyerap input dari dunia di luar dirinya, termasuk bentuk dan ruang
arsitektural. Sebagaimana sebuah proses yang berkelanjutan, ia tidak terhenti
hanya pada tahapan mengumpulkan masukan. Yang jadi pertanyaan ialah bagaimana
masukan tersebut akan diolah kemudian. Dengan pikiran atau perasaankah?
Mengapresiasi dengan Perasaan
Peter Zumthor,
seorang arsitek asal Swiss, dalam bukunya yang berjudul Atmosphere mengemukakan pendapat tentang
arsitektur yang dianggapnya baik, “Quality
architecture to me is when a building manages to move me.” Kualitas arsitektur bagi Zumthor ialah kemampuannya untuk menggugah perasaan.
Sebagai seorang arsitek, Zumthor memang lebih dekat pada kutub spiritualis
dibanding rasionalis, tercermin dari karya tulis dan rancangnya yang cenderung
sentimental. Memahami bagaimana ia berpandangan memberi petunjuk pada bagaimana
kita harus mengapresiasi hasil rancangannya: mengandalkan kepekaan rasa dan
sensibilitas.
![]() |
Interior Kolumba Museum oleh Peter Zumthor. (sumber: http://shakespeareintitchfield.weebly.com/uploads/1/5/3/9/15391744/1742674_orig.jpg) |
Arsitektur
sering disebut-sebut sebagai irisan antara seni dengan ilmu pengetahuan. Ketika
dipandang sebagai karya seni, arsitektur jadi memiliki kapabilitas untuk
dinikmati dan diapresiasi dengan perasaan. Saat demikian, intuisi mengambil
peran, membimbing sang apresiator untuk menemukan dan menghayati arsitektur
dalam dimensi emosional. Penilaian terhadapnya pun sudah seyogyanya menjadi
sangat subjektif. Sebab apresiator akan cenderung mengacu pada selera yang
sifatnya sangat individual bagi masing-masing orang. Dalam hal ini, standar
penilaian yang baku jadi tidak relevan dan tidak dapat diberlakukan. Dalam
beberapa kasus tertentu, antara satu orang dengan yang lain bisa saja terjadi
kesamaan atau kemiripan selera, tetapi tidak cukup untuk dijadikan patokan
dalam menelaah kasus-kasus lain dalam cakupan yang lebih general. Sementara
itu, arsitektur, bagaimanapun subjektifnya, tetap memiliki sisi pragmatis dan
praktis yang harus didekati dari sudut pandang yang lebih objektif. Intuisi dan
perasaan, dengan demikian, tidak dapat ditahbiskan sebagai instrumen tunggal
dalam menelaah arsitektur.
Mengapresiasi dengan Pikiran
Berbeda dengan
perasaan yang intuitif dan subjektif, pikiran atau lebih tepatnya logika bersifat
sistematis dan objektif. Saat mengandalkan perasaan dalam menilai sebuah karya
arsitektur, seseorang akan berhenti pada indah atau tidaknya sebuah bangunan;
menyenangkan atau tidak menyenangkan berada di dalamnya. Estetika cenderung
dinilai dengan cara ini. Tetapi, seiring perkembangan keilmuan dan pemikiran,
bahkan aspek estetika yang awalnya subjektif dan individual pun mulai didekati
dengan sudut pandang yang lebih objektif. Apakah yang membuat sesuatu tampak
indah atau sedap dipandang? Di antara hasilnya adalah aturan-aturan estetika
seperti irama, proporsi, skala, kesatuan (unity),
empasis, dsb. Salah satu contoh produk rasionalisasi estetika adalah konsep Golden ratio yang dicetuskan oleh Vitruvius. Keindahan yang awalnya berada
di ranah rasa dirasionalisasikan dengan angka yang tercermin pada proporsinya.
Keindahan pun telah dirumuskan.
Tidak hanya
untuk sesuatu yang sifatnya visual, aspek-aspek nonvisual pun dapat pula
ditelaah dengan pendekatan logis. Sebagai contoh, kenyamanan ruang. Tidak cukup
hanya dengan merasa nyaman atau tidak nyaman, pendayagunaan pikiran akan
membawa kita lebih jauh untuk menganalisis apa penyebabnya. Mengapa suatu ruang
dikatakan nyaman dan yang lain tidak. Ternyata, didapatkan semacam standar bagi
suatu ruang untuk disebut nyaman yang meliputi suhu, penghawaan, pencahayaan,
dsb. Memang dalam kasus-kasus tertentu ada variabel-variabel lain, terutama
dari manusianya sendiri, yang membuat kenyamanan ruang menjadi sesuatu yang
subjektif. Tetapi, dalam cakupan yang general, hal-hal semacam ini tetap pada
dasarnya bersifat objektif. Dan untuk memahami yang demikian ini, termasuk
dalam berarsitektur, logika dan daya pikir menjadi penting pula untuk
dilibatkan.
Formulasi Pikiran dan Perasaan
Lalu, mana yang
sebaiknya kita pakai dalam mengapresiasi arsitektur? Pikiran atau perasaan?
Dalam kasus yang berbeda jawabannya mungkin saja berbeda pula. Ada satu kasus
yang lebih cocok didekati secara intuitif, sementara yang lain tampaknya lebih
tepat ditelaah dalam kerangka yang sistematis-empiris. Kitalah, apresiator,
yang menentukan.
Walau begitu,
pertanyaan yang lebih besar lagi adalah ini: mengapa harus memisahkan keduanya,
pikiran dengan perasaan? Agaknya kurang bijaksana jika kita harus terjebak
dalam dikotomi yang demikian. Manusia, yang disebut-sebut sebagai ciptaan Tuhan
yang paling mulia, dibekali akal pikiran dan perasaan sebagai anugerah yang
membedakannya dari makhluk Tuhan yang lain. Maka, seyogyanya kedua anugerah
tersebut dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kita sepatutnya mulai membentuk kerangka
pandangan dimana pikiran dan perasaan adalah bagian dari suatu integritas yang
bekerja bersama dan sinergis, hand in
hand, bukan terpisah.
Ranny Monita
dalam artikelnya Imaginary Space yang dimuat dalam jurnal online arsitektur.net memberi contoh yang baik bagaimana proses apresiasi arsitektur
dapat melibat-padukan pikiran dan perasaan melalui upayanya “membaca” ruang
Church of Light rancangan arsitek Jepang Tadao Ando. Ia memulai proses
“pembacaan”-nya dengan menangkap kesan-kesan ruang yang dihadirkan oleh bangunan
gereja tersebut (dalam hali ini, ia bisa dikatakan banyak mengandalkan kepekaan
rasa dan spasialnya). Selanjutnya, ia mulai menganalisis bagaimana kiranya
teknik yang dipergunakan Ando dalam menghadirkan pengalaman ruang yang demikian
(di sini ia mulai mempergunakan daya pikirnya). Ia bahkan melangkah lebih jauh
dengan menghadirkan sebuah eksperimen ruang tersendiri yang didasarkan dari
hasil analisisnya terhadap metode Ando dalam menghadirkan ruang arsitektural
rancangannya. Pada akhirnya, ketika perasaan dan pikiran didayagunakan
bersama-sama, apresiasi arsitektur berkembang menjadi suatu proses yang
menghasilkan luaran akhir yang lebih kaya. (*)
![]() |
Church of Light karya Tadao Ando. (sumber: http://features.cgsociety.org/newgallerycrits/g64/28764/28764_1292720145_large.jpg) |
Referensi
- Tribinuka,
Tjahja. 2014. (http://iplbi.or.id/2014/02/kajian-tentang-apresiasi-arsitektur/
, diakses 17 Juni 2014)
- Zumthor,
Peter. 2006. Atmosphere: ARchitectural
Environments - Surrounding Objects. Birkhauser Architecture.
-
Monita, Ranny. 2010. Imaginary Space: Re-reading
Tadao Ando’s Church of Light. Jurnal
Teori & Desain Arsitektur - Arsitektur.net. Volume 4 nomor 1. (http://arsitektur.net/207/volume-04-no-1-spatial-stories/
, diakses 21 Mei 2014)
halo, perkenalkan saya lisa sebagai mahasiswa arsitektur. saya kagum melihat postingan anda. bagaimana jika kita sharing agar semakin bertambah ilmu? contact with google+ ya. thankyou.
ReplyDeleteharchitectnorm.blogspot.com