Home Top Ad

Responsive Ads Here

Rek, ayo, Rek... mlaku-mlaku nang Tunjungan. Rek, ayo, Rek... rame-rame bebarengan. Barangkali sebagian besar kita, apalagi yang menga...

Ayo Rek, Mlaku-mlaku Nang Tunjungan! (bagian 1)

Rek, ayo, Rek... mlaku-mlaku nang Tunjungan.
Rek, ayo, Rek... rame-rame bebarengan.


Barangkali sebagian besar kita, apalagi yang mengaku arek Suroboyo, sudah cukup familiar dengan penggalan lagu "Rek Ayo Rek" di atas. Minimal pernah dengar. Diciptakan oleh Is Haryanto dan dipopulerkan oleh Mus Mulyadi pada tahun 1970-an, lagu tersebut akhirnya jadi semacam anthem bagi kota Surabaya. Selalu diputar saat ada perayaan atau hajatan besar yang ada hubungannya dengan kota Surabaya.

Tunjungan sendiri adalah nama salah satu ruas jalan di pusat kota pahlawan ini. Ia memegang peranan penting bagi kota Surabaya bukan hanya karena kontribusi ekonomisnya saja, tapi juga karena muatan historisnya yang kaya. Ingat insiden besar perobekan bendera Belanda pada tanggal 18 September 1945 di Surabaya? Kisah yang sering dituturkan pada pelajaran sejarah waktu kita sekolah dulu itu mengambil latar tempat di puncak tertinggi Hotel Yamato. Nah, Hotel Yamato (sekarang sudah berganti nama jadi Hotel Majapahit) itu adanya ya di Jalan Tunjungan.

Insiden perobekan bendera Belanda oleh arek-arek Suroboyo.


Selain itu, masih banyak gedung-gedung lain yang menyimpan cerita bersejarah sejak zaman kolonial. Salah satu contohnya adalah gedung Siola. Gedung pusat perbelanjaan ini merupakan satu dari sekian saksi bisu perjalanan sejarah kota Surabaya. Siola mengawali kisahnya dengan nama Whiteaway Laidlaw yang merupakan bagian dari jaringan toko serba ada yang tersebar di beberapa negara dan dimiliki oleh konglomerat asal Inggris. Pusat pertokoan tersebut dibuka pada tahun 1923. Seiring berjalannya waktu, gedung tersebut sempat mengalami beberapa kali pindah tangan kepemilikan, meskipun fungsinya tetap sebagai komplek pertokoan. Pada tahun 1940-an, gedung tersebut diambil alih oleh Jepang dan berganti nama menjadi Toko Chiyoda. Lalu, pada tahun 1964 berganti lagi menjadi Siola, singkatan dari nama-nama pengusaha yang bekerja sama mendirikan kembali pertokoan tersebut, Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem, dan Aang. Sejak saat itu, keberadaannya mulai tergerus oleh bermunculannya pusat perbelanjaan yang lebih modern. Terakhir, gedung Siola mengalami perombakan pada muka bangunannya dan menjadi Tunjungan City sejak 2011.

Siola tempo doeloe.

Siola zaman sekarang yang sudah berganti nama jadi Tunjungan City.


Nah, itu tadi sekilas cuplikan sejarah, sekarang kembali ke perkara lagu, Anda yang tahu benar kondisi Jalan Tunjungan saat ini mungkin agak bertanya-tanya, 'Buat apa ya mlaku-mlaku (jalan-jalan) ke Tunjungan? Jalan-jalan kemananya?' Mungkin juga ada yang tidak sampai terheran-heran begitu karena langsung terbersit dalam pikirannya tentang Tunjungan Plaza. Sedikit fakta bagi yang belum tahu atau selama ini salah kira, Tunjungan Plaza itu letaknya bukan di Jalan Tunjungan, melainkan cuma agak dekat dengan Tunjungan. Tapi saya akan bahas soal itu belakangan. Sekarang kita bahas jalannya dulu.

Dalam peta kota Surabaya, Jalan Tunjungan menempati posisi yang sangat strategis. Ruas jalan ini merupakan penghubung utama kawasan perumahan di sebelah Selatan-Timur dan Barat Surabaya (Gubeng, Darmo, Ketabang dan Sawahan), dengan daerah perdagangan yang ada disekitar Jembatan Merah. Walhasil, karena sering dilewati, kawasan ini pun tumbuh menjadi salah satu sentra ekonomi yang maju. Berbagai bangunan pertokoan pun dengan suburnya bermunculan (mrenthek kalau bahasa Suroboyo-nya) di sepanjang jalan. Sampai saat ini pun, kanan-kiri Jalan Tunjungan masih didominasi oleh gedung-gedung pertokoan, mulai dari toko elektronik, sepatu, sampai alat fitness atau kebugaran tubuh, ada di sini. Ada juga beberapa bank, baik yang nasional ataupun multinasional, serta satu-dua hotel dan restoran.

Jalan Tunjungan tempo doeloe. Tampak gedung di sebelah kiri adalah bangunan Hotel Majapahit.


Buat kita-kita ini yang (katanya) orang modern, tentu lebih memilih nongkrong atau kongkow di pusat perbelanjaan seperti mall yang adem, nyaman, dan serba ada. Tetapi, untuk ukuran orang zaman dulu yang belum kenal konsep mall modern, bisa jadi jalan-jalan atau nongkrong di Tunjungan inilah yang paling keren. Jadi, belum bisa disebut anak gaul kalau belum pernah malam mingguan di situ. Barangkali begitu...

Biar bagaimanapun, slogan "mlaku-mlaku nang Tunjungan" sudah kadung melekat di benak masyarakat. Belakangan, slogan tersebut tampaknya ingin kembali dihidupkan, baik oleh Pemkot atau pihak masyarakat lain, melalui berbagai program maupun acara-acara khusus. Jadi, publik Surabaya bisa menikmati lagi rasanya mlaku-mlaku nang Tunjungan, tentunya dengan kemasan yang berbeda. Seperti apa? Tunggu di artikel berikutnya ya. :)

0 coment�rios: